- Bagaimana sikap kita, setelah mengetahui ternyata pemerintah menggunakan metode hisab. Apakah kita akan tetap ikut pemerintah, meskipun diyakini bahwa pemerintah dalam hal ini salah?!
- Bagaimana sikap kita untuk tahun ini, jika ternyata nanti ada orang-orang yang bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal, namun pemerintah tidak mengganggap persaksian mereka karena (sekali lagi) menurut HISAB pemerintah hilal tidak mungkin terlihat???
- Apakah kita akan tetap ikut pemerintah, meskipun kita meyakini bahwa HISAB adalah cara yang batil. Dan disisi lain, pemerintah memberi kebebasan dan keluasaan bagi kaum muslimin di Indonesia untuk memilih mau berhari raya dengan pemerintah atau tidak... terserah, sesuai dengan keyakinan masing-masing!!
- Apakah berlain hari dengan pemerintah termasuk perbuatan membangkang, tidak taat, dan memecah belah umat. Jika ternyata pemerintah sendiri yang memperbolehkan orang untuk berbeda! "silahkan berbeda, tidak masalah, asal jaga persatuan dan kesatuan NKRI" begitulah kurang lebih pesan pemerintah!
- Setelah diberi kesempatan oleh pemerintah untuk berhari raya dihari apa saja dan dipersilahkan untuk menjalankan keyakinan masing2, apakah kita masih tetap akan memilih ikut dengan pemerintah! sementara keyakinan kita adalah harus dengan ru'yatul hilal, bukan dengan hisab!
Senin, 29 Agustus 2011
PEMERINTAH : ANTARA HISAB & RU'YAT DALAM PENENTUAN 1 RAMADHAN, IDUL FITHRI & IDUL ADHA
Kamis, 25 Agustus 2011
Batas Akhir Waktu Sahur
Tanya :
Ustadz, saya minta penjelasan kapan akhir waktu sahur? Apakah pada saat Imsak, saat adzan subuh atau adzan subuh berakhir?
Jawab :
Empat Imam madzhab sepakat dengan pendapat; waktu sahur itu berakhir pada waktu terbit fajar shadiq (thulu’lfajr al-shadiq). Bisa berarti, waktu sahur berakhir sampai adzan Shubuh. Diterangkan dalam firman Allah SWT artinya,”Dan makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS Al-Baqarah [2] : 187). Ayat tersebut menerangkan bahwasanya makan minum (sahur) masih diperbolehkan hingga jelas/terang (tabayyun) fajar sudah datang. (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Al-Shiyam, hlm. 101; Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Al-Shiyam, hlm. 77; Wahbah Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir, 2/153).
Yang dimaksud fajar pada ayat tersebut yaitu fajar shodiq, bukan fajar kadzib. Diterangkan dalam hadits ‘Aisyah RA, dia berkata,”Janganlah adzan Bilal mencegah dari sahur kamu, karena dia menyerukan adzan pada malam hari. Makan minumlah kamu hingga kamu mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum, karena dia tidak menyerukan adzan hingga terbit fajar.” (HR Bukhari, Muslim, Nasa`i, Ahmad, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah).
Hadits ini menerangkan bahwa Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari sebelum fajar datang atau saat terbit fajar kadzib, yaitu munculnya cahaya putih yang memanjang ke arah atas/langit. Adapun Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan pada waktu fajar shadiq telah terbit, yaitu munculnya cahaya putih ke arah kanan dan kiri dari arah timur, bukan hanya ke arah atas saja. (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, ibid., hlm. 82).
Dengan dasar hadits ‘Aisyah RA ini, menjelaskan batas akhir waktu sahur bukan fajar kadzib akan tetapi fajar shadiq, yaitu waktu adzan Shubuh. Oleh sebab itu, waktu Imsak (kurang lebih 10 menit sebelum waktu Shubuh) bukanlah batas akhir sahur. Hal itu ditegaskan bahwa batas akhir sahur adalah datangnya fajar shadiq (waktu Shubuh), bukanlah pada saat Imsak. Jadi jiwa waktu imsak tiba, sahur masih boleh dan tidak haram bagi yang berpuasa.
Imsak bertujuan hanya untuk kehati-hatian (ihtiyath) saja, bukan batas akhir waktu sahur. Hal ini diterangkan dalam hadits Zaid bin Tsabit RA yang berkata,”Kami pernah makan sahur bersama Nabi SAW, kemudian kami berdiri untuk shalat (Shubuh).’ Lalu Anas bertanya kepada Zaid bin Tsabit, ‘Berapa lama antara keduanya (sahur dan shalat Shubuh)?’ Zaid bin Tsabit menjawab,’Kadarnya (lamanya) sekitar bacaan 50 ayat.” (HR Bukhari, Muslim, Nasa`i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, ibid., hlm. 81).
Dengan begitu kita mengetahui batas akhir waktu sahur adalah waktu adzan Shubuh. Namun bukan awal adzan Shubuh, hali ini dikarenakan ada dalil yang membolehkan sahur saat orang mendengar adzan Shubuh. Bisa diartikan, hadits ‘Aisyah RA bahwa batas akhir sahur adalah adzan Shubuh masih mujmal (global). Hadits ini kemudian diperjelas dengan hadits Abu Hurairah RA sebagai mubayyan (penjelas yang detail dari mujmal) yang masih membolehkan sahur ketika adzan Shubuh. Abu Hurairah RA berkata,”Rasulullah SAW bersabda,’Jika seseorang dari kamu mendengar adzan (Shubuh), sedangkan bejana (air) sedang di tangannya, maka janganlah dia meletakkan bejananya hingga dia menyelesaikan hajatnya darinya [minum].” (HR Abu Dawud no 2350, Ahmad, Daruquthni, dan Al-Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Imam Dzahabi). (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, ibid., hlm. 79). Berdasarkan hadits Abu Hurairah RA ini, jelaslah bahwa makan dan minum saat adzan Shubuh masih dibolehkan. Hadits Abu Hurairah RA ini adalah penjelas (mubayyan) dari hadits ‘Aisyah RA yang mujmal bahwa batas akhir sahur adalah saat adzan Shubuh.
Kesimpulannya, batas akhir waktu sahur adalah saat adzan Shubuh, namun bukan awal adzan Shubuh, melainkan memanjang hingga akhir adzan Shubuh. Maka jika adzan Shubuh masih berkumandang, sahur masih boleh, tidak haram, dan tidak wajib qadha`. Wallahu a’lam.
Senin, 22 Agustus 2011
Hukum Seputar I’tikaf
Pertanyaan :
Mohon dijelaskan hukum-hukum seputar i’tikaf?
Jawaban :
I’tikaf berasal dari kata ??? ???? ???? ?????‘akafa–ya’kufu wa ya’kifu–‘akf[an] wa ‘ukûf[an]. I’tikaf secara bahasa artinya ????? ?????? ????????? al-lubtsu wa al-habsu wa al-mulâzamah (diam, menahan adiri dan menetapi) (Imam an-Nawawi, al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab, kitab al-I’tikaf). I’tikaf juga berarti,???? ????? ? ????? ???? luzûm asy-syay’i wa iqbâl ‘alayh (menetapi sesuatu dan menghadap padanya) (Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughah al-Fuqaha; Muhammad ibn Abi al-Fatah al-Ba’li, al-Muthalli’).
Jadi, secara bahasa i’tikaf adalah ???? ????? ???????? ??? luzum asy-syay’i wa al-ihtibas fîhi (menetapi sesuatu dan menahan diri di dalamnya), yaitu tidak menyibukkan diri dengan yang lain.
Kata ‘akafa dan bentukannya itu dinyatakan di dalam al-Quran sembilan kali. Tujuh kali di antaranya dalam makna bahasanya itu, yaitu QS al-A’raf [7]: 138; Thaha [20]: 91, 97; al-Anbiya’ [21]: 52; al-Hajj [22]: 25; asy-Syu’ara [26]: 71; dan al-Fath [48]: 25. Dua kali dalam makna syar’i-nya yaitu di QS al-Baqarah [2]: 125 dan 187.
Adapun secara syar’i, i’tikaf adalah diam di masjidk selama jangka waktu tertentu dalam kondisi yang spesifik disertai niat taqarrub kepada Allah SWT (Syaikh Mahmud bin Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al-Jâmi’ li Ahkâm ash-Shiyâm).
Beberapa Hukum Tentang I’tikaf
I’tikaf merupakan ibadah sunnah. Aisyah ra. menuturkan:
Nabi saw. ber-i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau ber-i’tikaf sepeninggal beliau (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ahmad).
Saat tertentu Nabi saw. tidak bisa ber-i’tikaf karena melakukan safar pada bulan Ramadhan, rosul ber-i’tikaf selama 20 hari pada Ramadhan berikutnya. Hal ini memberitahukan bahwa i’tikaf salah satu taqarrub, yakni ibadah. Ibadah itu bisa wajib maupun sunnah. I’tikaf merupakan ibadah sunnah. Abu Said al-Khudzri menuturkan, Rasulullah saw. bersabda, “Aku ber-i’tikaf sepuluh hari pertama mencari malam ini (Lailatul Qadar). Lalu aku ber-i’tikaf sepuluh hari pertengahan. Kemudian aku didatangi dan dikatakan kepadaku bahwa itu di sepuluh hari terakhir. Karena itu, siapa di antara kalian yang suka (mau) ber-i’tikaf hendaklah ia ber-i’tikaf.” Abu Said berkata, “Lalu orang-orang ber-i’tikaf bersama beliau.” (HR Muslim, al-Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Malik).
Rasul saw memberitahukan pelaksanaan i’tikaf itu kepada kesukaan (kemauan) orang-orang. Ini menunjukkan bahwa i’tikaf hukumnya sunah. Jikalau wajib maka ini akan dibebankan ke semua umat.
Sesuai tuntunan dari Allah I’tikaf dilakukan di masjid. Siapapun boleh memilih di masjid manapun yang dirasa nyaman. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 187)
Begitu banyak hadist menerangkan bahwa Nabi saw. ber-i’tikaf hanya di masjid. Abu Said al-Khudzri menuturkan, Rasul saw. pernah bersabda, “Aku diperlihatkan Lailatul Qadar, tetapi aku dilupakan (waktu persisnya). Karena itu, carilah di sepuluh hari terakhir pada malam ganjil. Aku diperlihatkan bahwa aku sujud di atas air dan tanah. Maka dari itu, siapa saja yang telah ber-i’tikaf bersama Rasulullah saw. hendaklah kembali (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Malik, Ibn Hibban dan al-Baihaqi).
Jika i’tikaf itu tidak harus di masjid, niscaya Nabi saw. tidak menyuruh para Sahabat untuk kembali ke masjid. Semua ini menunjukkan bahwa tempat i’tikaf itu di masjid. Kata al-masâjid atau al-masjid dalam hadis-hadis tentang i’tikaf merupakan kata umum, dan tidak ada nas yang mengkhususkan masjid tertentu saja. Karena itu, i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja, selama itu adalah masjid.
Waktu I’tikaf
Tentang waktu untuk ber-i’tikaf, tidak ada nas yang membatasi waktunya. Waktu untuk i’tikaf itu adalah sepanjang tahun, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. ‘Aisyah ra. Meriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah ber-i’tikaf sepuluh hari di bulan Syawal, yakni di akhir Syawal (riwayat al-Bukhari), atau awal Syawal (riwayat Muslim). Umar ra. pernah bercerita kepada Nabi ra. bahwa ia pernah ber-nadzar semasa Jahiliah untuk ber-i’tikaf semalam di Masjid al-Haram. Nabi saw. lalu bersabda, “Penuhi nadzar-mu!” (HR al-Bukhari). Di sini Nabi saw. tidak membatasi waktunya, artinya i’tikaf boleh malam apa saja sepanjang tahun. Memang, Nabi saw. mendawamkan ber-i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Itu sekadar menunjukkan keutamaannya. I’tikaf sendiri sah dilakukan kapan saja sepanjang tahun, hanya saja di bulan Ramadhan itu lebih utama, dan yang paling utama adalah di sepuluh hari terakhir Ramadhan untuk mencari Lailatul Qadar. Karena itu, hendaknya seorang Muslim bersungguh-sungguh untuk bisa ber-i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, terutama untuk mencari keutamaan Lailatul Qadar.
Nabi saw. pernah ber-i’tikaf di bulan Syawal, dan itu bukan bulam puasa. Nabi saw. juga hanya menyuruh Umar ra. agar memenuhi nadzar i’tikaf-nya tanpa menyebutkan harus berpuasa. Jadi, shaum bukan syarat i’tikaf.
I’tikaf juga boleh dimulai kapan saja. Tidak ada nas yang menentukan waktu untuk memulai i’tikaf. Memang ada penuturan Aisyah ra., “Rasulullah saw., jika ingin ber-i’tikaf, menunaikan shalat subuh, lalu masuk ke tempat i’tikaf beliau.” (HR Muslim, an-Nasai, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad). Hadis ini hanya menjelaskan fakta i’tikaf yang dilakukan Nabi saw. Di dalamnya tidak ada penentuan waktu; juga tidak ada larangan untuk memulai i’tikaf di waktu lainnya.
Tentang berapa lama waktu i’tikaf, tidak ada nas yang menentukan batasan jangka waktunya. Karena itu, lamanya ber-i’tikaf kembali pada kemutlakannya. Untuk batas maksimalnya, para ulama sepakat bahwa tidak ada batas maksimal jangka waktu i’tikaf. Sedangkan untuk batas minimal, maka batas minimalnya, adalah jangka waktu yang bisa disebut al-labtsu (diam). Imam asy-Syafii, Ahmad dan Ishaq ibn Rahuwaih mengatakan, bahwa minimal adalah apa yang disebut al-labtsu (diam) dan tidak disyaratkan duduk. Abdurrazaq meriwayatkan, Ya’la bin Umayyah ra.—seorang Sahabat—berkata, “Mari pergi bersama kami ke masjid lalu kita beri’tikaf di dalamnya sesaat.”
Aktifitas Selama I’tikaf
Saat seseorang ber-i’tikaf, ia boleh keluar dari masjid untuk melakukan sesuatu yang harus dan mendesak dia lakukan saat itu dan hal itu tidak membatalkan i’tikaf-nya. Itu ada dua. Pertama, untuk melakukan kewajiban yang tidak bisa ditunda di waktu lain. Kedua, untuk memenuhi keperluannya sebagai manusia seperti mandi, buang hajat, muntah; mengambil makanan jika tidak ada yang mengantarkan kepadanya; mengambil selimut, mengambil kipas ketika kegerahan; dsb; atau sesuatu yang mendesak harus dia lakukan seperti anaknya sakit dan harus dibawa ke dokter/RS. Dalam kondisi demikian sang mu’takif boleh keluar dan mengantarkan anaknya ke dokter/RS, atau yang semisalnya. Semua itu boleh dilakukan oleh sang mu’takif dan tidak membatalkan i’tikaf-nya. Setelah melakukan semua itu, ia bias kembali ke masjid dan melanjutkan i’tikaf-nya tanpa harus berniat kembali. Adapun hal-hal sunnah atau tidak mendesak dan bisa ditunda di waktu lain, maka jika ia keluar dari masjid untuk melakukannya, i’tikaf-nya batal atau terputus.
Saat ber-i’tikaf di masjid itu, semua hal yang dilarang dilakukan di dalam masjid, juga dilarang dilakukan oleh sang mu’takif dan tidak membatalkan i’tikaf-nya. Setelah melakukan semua itu, ia bisa kembali ke masjid dan melanjutkan i’tikaf-nya tanpa mempengaruhi i’tikaf-nya.
I’tikaf Wanita
Wanita sah ber-i’tikaf. Tempatnya adalah di masjid, terpisah dari laki-laki. Jika ia bersuami, maka i’tikaf-nya harus atas izin suaminya. Ia boleh ber-i’tikaf bersama suaminya ataupun tidak, asal i’tikaf-nya itu atas izin suaminya. Namun, ia tidak boleh ber-i’tikaf, jika dia punya suami atau anak yang masih kecil yang tidak ada yang merawat/melayani mereka, sebab hal itu adalah wajib bagi dirinya, sementara i’tikaf adalah sunnah. Jika keduanya berbenturan, yang wajib tentu harus dikedepankan. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman].
Rabu, 10 Agustus 2011
Google+ (plus), layanan jejaring sosial baru dari Google
Social network yang telah menjadi favorit ternyata sudah dikenalkan google mulai tanggal 28 Juni 2011 yang lalu, pada saat itu hanya dibuka untuk orang tertentu sehingga terdapat keterbatasan karena hanya melalui undangan, akan tetapi kini kita sudah bisa join tanpa harus diundang oleh teman yang sudah terdaftar sebelumnya.
Hukum Merayakan Imlek
Beberapa hari lagi hari raya Imlek tiba. Bolehkah kaum muslimin ikut merayakan Imlek?
Jawaban :
Anda mungkin pernah mendengar pernyataan begini. Bahwa Imlek itu hanyalah tradisi etnis Tionghoa dan bukan bagian ajaran agama tertentu. Karenanya umat Islam khususnya yang beretnis Tionghoa boleh-boleh saja merayakan Imlek.
Benarkah Imlek hanya tradisi? Bolehkah seorang muslim turut merayakan Imlek? Tulisan ini berusaha untuk menjawab dua pertanyaan tersebut, dengan menelaah ajaran agama Khonghucu, serta menelaah hukum syariah Islam yang terkait dengan keterlibatan kaum muslimin dalam perayaan hari raya agama lain.
Senin, 08 Agustus 2011
Bolehkah Non Muslim Menyumbang Pembangunan Masjid?
Seorang non muslim turut menyumbang pembangunan masjid. Hukumnya bagaimana ustadz?
Jawab :
Non muslim tidak mempunyai hak serta tidak diperbolehkan menyumbang pembangunan masjid. Karena membangun masjid termasuk kegiatan ibadah memakmurkan masjid (’imaratul masajid) yang menjadi hak serta kewajiban khusus bagi kaum muslimin, bukan non muslim.
Dalilnya dalam firman Allah SWT (artinya) : “Tidak pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir.” (QS At-Taubah [9] : 17). Yang dimaksud “masjid-masjid Allah” (masajidallah) dalam ayat ini adalah masjid secara umum, bukan hanya Masjidil Haram di Makkah. (Tafsir Al-Qurthubi, 8/89; Tafsir Ibnu Katsir, 4/119).
Rabu, 03 Agustus 2011
Siapakah yang mempunyai hak Menentukan Sebuah Aliran/Paham Sesat atau Tidak?
Tatacara Qunut Nazilah
Jawaban :
Cara pelaksanaan Qunut Nazilah
Oleh Hafidz Abdurrahman
Pengertian Qunut Nazilah